28 Agustus 2009

Argopuro, 15-19 Agustus 2009 (Kaskus OANC Trip)


The team :

* Andre Andika
* Dedi Kurniawan
* Muhammad Tirta Kusuma
* Qomar Ardhani


Argopuro adalah sebuah gunung dalam jajaran pegunungan Yang Timur yang berada di kawasan kabupaten Probolinggo, Jember, Bondowoso dan Situbondo. Gunung tersebut memiliki 2 puncak utama yaitu puncak Rengganis dan puncak Argopuro sebagai puncak tertingginya (3088 mdpl). Jalur pendakian resmi gunung tersebut adalah jalur Baderan yang berada di desa Baderan, kecamatan Sumber Malang, Situbondo. Jalur pendakian tersebut merupakan jalur pendakian terpanjang di pulau Jawa.

Kamis, 13 Agustus 2009
Perjalanan dimulai pada tanggal 13 Agustus 2009. kurang lebih pukul 19.00 Andre berangkat menuju Surabaya dengan kereta eksekutif Gajayana dari Bandung. Malam itu juga pukul 23.00 aku dan Qomar berangkat dari Jogja menuju Surabaya dengan bus ekonomi Mitra (Rp. 34.000) yang tak kalah garang dengan bus Sumber Kencono.


Jum'at, 14 Agustus 2009
Aku dan Qomar tiba di terminal Purabaya Surabaya pada pukul 07.00 dan melanjutkan perjalanan menuju Probolinggo pada pukul 07.30 dengan bus ekonomi Ladju (Rp.12.000). Saat bus memasuki kota Probolinggo, para penumpang bus di kagetkan oleh sebuah angkot yang tengah terbakar di pinggir jalan (Photo menyusul). Kami tiba di terminal Probolinggo pukul 09.45. Cuaca terasa cukup panas bagi kami yang tidak terbiasa hidup di daerah panas seperti Probolinggo. Sambil menunggu kedatangan bus, kami berdua menyempatkan diri menikmati sarapan pagi Soto dan Es Teh seharga Rp.10.000 di warung Sidodadi di samping terminal.

Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Dedi di Paiton Probolinggo menggunakan bus ekonomi (Rp. 6.000) pada pukul 10.30. Kami tiba di Paiton Gudang Garam kurang lebih pukul 12.00 dan segera di jemput oleh Dedi dengan motornya. Di rumah Dedi kami kembali check list untuk menghindari kesalahan fatal nantinya. Pukul 13.30 Andre pun tiba di rumah Dedi. Siang itu kami mendiskusikan keikutsertaan karees yang belum pasti dan tanpa kabar yang pada akhirnya kami putuskan untuk tidak memasukkan karees dalam tim karena keterbatasan waktu kami.

Pukul 16.00 kami berangkat menuju pasar Besuki dari Paiton Gudang Garam menggunakan bus ekonomi (Rp. 5.000) yang sangat penuh. Sepanjang perjalanan tersebut kami disuguhi dengan pemandangan laut lepas dengan diselingi hutan bakau yang tumbuh tinggi di pinggir jalan. Kami juga melewati sebuah PLTU yang berdiri megah di daerah yang cukup sepi itu.

Kami tiba di pasar Besuki pukul 16.30. Karena kami datang terlalu sore, kami tidak mendapatkan angkutan menuju desa Baderan. Akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan jasa ojek menuju Baderan (Rp. 20.000) yang mana jalan menuju desa tersebut sangat berliku dan menanjak cukup curam. Kami berangkat pukul 16.45 dan tiba di desa Baderan tepatnya di Resort KSDA pegunungan Yang Timur pada pukul 17.30.

Setibanya di sana kami disambut dengan hangat oleh pak Susiono selaku kepala Resort KSDA pegunungan Yang Timur yang sangat gemar minum kopi semalam di pagi hari. Kami berbincang dengan pak Susiono hingga pukul 22.00. Kami menginap di resort KSDA dengan biaya Rp. 2.000 / kepala (Resort termurah di dunia)

Sabtu, 15 Agustus 2009
Pagi yang cukup cerah dan udara yang segar menyapa kami di pagi itu. Kurang lebih pukul 07.00 kami menyempatkan diri untuk menikmati sarapan pagi nasi telor dan teh hangat (Rp. 5.000) di warung pertigaan di dekat Resort KSDA. Saat akan menikmati sarapan pagi, kami kedatangan 5 orang pendaki dari Surabaya (Wingga, Udin, Acong, Pak To, Buston) yang ternyata salah satunya adalah kaskuser yang juga selalu memantau thread trip Argopuro kali ini.

Pukul 09.00 setelah kami packing , berpamitan dengan pak Susiono dan berdoa, kami memulai pendakian bersama dengan 5 orang rombongan dari Surabaya dengan Andre sebagai Leader. Cuaca siang itu sangat cerah sehingga membuat kami selalu merasa kehausan, karena selama kurang lebih 4 jam pertama kami berjalan di sisi bukit bagian timur yang sangat terbuka. Pukul 13.00 kami mulai memasuki kawasan hutan yang tidak begitu rimbun, sehingga panas masih cukup menyengat kulit kami. Pukul 13.30 kami beristirahat untuk menikmati makan siang sejenak.

Pukul 14.30 perjalanan kami lanjutkan menuju Pos Mata Air II sebagai target camp hari pertama kami. Di tengah perjalanan tepatnya pukul 16.00, kami di guyur hujan yang cukup deras untuk membasahi seluruh pakaian yang kami kenakan saat itu. Dan kami memutuskan untuk berhenti sejenak di tempat yang cukup teduh. Ternyata hujan tak kunjung reda, gerimis masih saja menetes di sore itu. Kami melanjutkan perjalanan dalam kondisi basah kuyup (hanya sebagian dari kami). Pukul 17.30 kami tiba di pos Mata Air I yang ditandai dengan papan yang tertempel di sebuah pohon di kiri jalan. Karena hari sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk bermalam di pos Mata Air I. Malam itu kami diserang oleh puluhan tikus yang berwarna kuning keemasan yang sangat lincah dalam hal mencuri makanan kami.

Minggu, 16 Agustus 2009
Setelah menyantap sarapan pagi dan packing, kami melanjutkan perjalanan menuju Cisentor sebagai target berikutnya pada pukul 10.00. Trek yang kami lalui cukup berat hingga pos Mata Air II yang berada sebelum patok kayu nomor Hm 20 dan berada pada bekas kayu tumbang yang ternyata tidak memiliki space untuk lebih dari 1 tenda.Mata air terdapat di lembah sisi kanan jalan. Kami tiba di pos Mata Air II pukul 12.00. Disana kami bertemu dengan rombongan bapak-bapak crosser. Setelah menambah persediaan air, kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi berikutnya yaitu Alun-alun Kecil (Sabana dengan ketinggian 2100 mdpl). Jalur yang kami lalui cukup menyenangkan karena landai dan beberapa kali menurun. Kami tiba di Alun-alun Kecil pukul 14.00.

Setelah beristirahat cukup lama dan berfoto-foto, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Alun-alun Besar yang juga merupakan salah satu sabana di pegunungan ini. Dalam perjalanan ini kami mulai menjumpai beberapa pohon Edelweiss yang bunganya baru saja mekar. Kami tiba di Alun-alun Besar pada pukul 16.00. Pemandangan di Alun-alun besar sangat indah. Sedikit menyerupai default background Microsoft Windows XP.





Pukul 17.00 kami melanjutkan perjalanan menuju Cikasur dan tiba pada pukul 18.30. Sebuah sabana besar yang konon akan di jadikan sebuah bandara pada jaman penjajahan Belanda. Di sabana tersebut terdapat sebuah sungai yang cukup besar dan di sana terdapat banyak selada air yang sangat segar. Karena hari sudah gelap, kami memutuskan untuk bermalam di Cikasur. Malam itu aku dan Qomar menerima tantangan menarik dari Andre untuk berjaga malam dengan mengenakan celana pendek, kaos tipis, dan sarung hingga pukul 04.00 pagi dalam suhu 7°C. Dengan santai kami menerima tantangan tersebut dan berhasil memenangkan tantangan tersebut.





Senin, 17 Agustus 2009
Beruntungnya salah satu teman kami dari rombongan Surabaya yang melihat 4 ekor burung Merak berjemur di Cikasur pagi itu. Setelah menyentap sarapan pagi singkat, tutup Trangia Qomar sempat hilang, akhirnya aku dan Qomar tertinggal dari barisan. kami mulai melanjutkan perjalanan menuju Cisentor berdua pada pukul 10.30. Jalur yang kami lalui bervariatif, menanjak dan menurun. kami mengenakan pakaian lengkap dikarenakan banyaknya semak belukar yang menghalangi jalan. Tak ketinggalan tanaman penyengat yang biasa disebut pohon Djancuk juga banyak terdapat di jalur ini. Jalur yang paling berbahaya ada di punggungan sebelum tiba di Cisentor. Jalur tersebut sangat sempit dan berada di sisi jurang, terlebih saat melewati jembatan yang terbuat dari sebuah pohon besar yang tumbang, kami harus ekstra hati-hati melewati jembatan tersebut.



Kami tiba di Cisentor pukul 14.00. Cisentor adalah sebuah lembah dengan sungai yang mengalir cukup deras di dasar lembah tersebut. Di Cisentor inilah pertemuan dari jalur pendakian Baderan dan Bremi. Pertemuan jalur tersebut ada di samping pos Cisentor. Karena waktu tidak memungkinkan lagi, kami memutuskan untuk bermalam di Cisentor. Alhasil kami tidak mengibarkan bendera merah putih dan kaskus OANC pada tanggal 17 Agustus. Sore itu juga rombongan dari Surabaya yang sedari awal pendakian selalu bersama kami tetap melanjutkan perjalanan ke puncak Argopuro dan kembali ke Cisentor di malam hari.

Selasa, 18 Agustus 2009
Pagi yang sangat dingin terpaksa harus kami lawan untuk mencapai puncak Argopuro. Tepat pukul 06.45, tanpa sarapan kami berangkat menuju Rawa Embik. Sebuah kesalahan fatal dimana kami tidak menyempatkan diri untuk mengisi perut kami, dan ternyata Andre yang membawa satu-satunya carrier hanya berisi 2 batang cokelat yang mengakibatkan kondisi fisik kami menurun drastis hati itu.

Perjalanan menuju Rawa Embik cukup mudah tanpa beban di punggung kami. Jalan yang kami lalui cukup landai dengan pemandangan hutan Pinus dan Edelweiss di sepanjang perjalanan diselingi beberapa sabana kecil. Kami tiba di Rawa Embik pada pukul 08.00. Rawa Embik adalah sebuah sabana dengan sungai kecil sebagai sumber air tertinggi di gunung Argopuro. Setelah beristirahat dan mengambil air di sungai, kami melanjutkan perjalanan menuju persimpangan puncak pada pukul 08.30. Kami kembali di suguhi dengan pemandangan Edelweiss dan Pinus yang cukup lebat. Namun kali ini kami harus ekstra hati-hati dengan pohon-pohon Pinus kering yang ada di sekitar kami. Karena di jalur tersebut sangat banyak pohon tumbang yang menindih pohon kering lainnya.





Kami tiba di Simpang Puncak pukul 10.30. Pemandangan di Simpang Puncak cukup menarik, dimana pohon Edelweiss tumbuh di kanan dan kiri jalan di tengah sabana di antara 2 puncak yang terlihat sudah sangat dekat.

Setelah berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Rengganis (Jalur Kiri) pada pukul 10.45. Jalur yang kami lalui cukup menanjak dan didominasi oleh bebatuan. Kami tiba di puncak Rengganis pukul 11.00. Sungguh pencapaian yang sangat membahagiakan mengingat perjalanan kami selama 3 hari sebelumnya cukup berat bagi kami. Pemandangan yang disajikan pun benar-benar dapat menghapus rasa lelah kami. Perpaduan antara sejarah, budaya, dan alam yang ada di puncak Rengganis membuat kami terkagum-kagum untuk beberapa saat.






Karena pada saat itu kondisi fisik kami cukup lemah (terlebih Dedi yang memang sedang dalam kondisi sakit), kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju puncak Argopuro, namun Andre tetap melanjutkan perjalanannya menuju puncak Argopuro pada pukul 11.50. Setelah puas mengabadikan keindahan puncak Rengganis dalam kamera saku, kami bertiga kembali menuju Simpang Puncak pada pukul 12.00 dan tiba di Simpang Puncak pukul 12.10.

Andre tiba di puncak Argopuro sebagai delegasi dari tim kami pada pukul 12.15 dan mengabadikan puncak tersebut dalam beberapa foto (menyusul) selama 15 menit. Pukul 12.30 Andre beranjak dari puncak Argopuro menuju Simpang Puncak dimana kami bertiga tertidur di bawah pohon Pinus menunggu Andre. Andre tiba di Simpang Puncak pada pukul 12.45. Setelah beristirahat, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Cisentor pada pukul 13.30 dengan kondisi lapar. Pukul 14.00 kami tiba di Rawa Embik dan beristirahat sejenak. Kami melanjutkan perjalanan pada pukul 14.30 dan tiba di Cisentor pada pukul 15.00. Karena kondisi badan kami dan waktu yang tidak memungkinkan, kami kembali memutuskan untuk bermalam di Cisentor.

Rabu, 19 Agustus 2009
Pagi itu kami tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, kami menyantap sarapan bersama sambil mendiskusikan rencana perjalanan selanjutanya. Disitu muncul sedikit perdebatan alot antara keputusan Andre untuk bermalam di Taman Hidup apapun resikonya dan keputusan untuk langsung menuju Bremi karena keadaan Dedi kurang baik. Perbedaan pendapat itu terus berlanjut sepanjang hari itu.

Kami memulai perjalanan turun pada pukul 10.00 menuju Aeng Poteh (Air Putih), yaitu sebuah sungai kecil di sebuah lembah di jalur Bremi. Jalur menuju Aeng Poteh cukup landai, Namun kami harus mengenakan pakaian lengkap untuk menghindari luka goresan semak belukar yang tumbuh tinggi di sepanjang jalan menuju Taman Hidup. Kami tiba di Aeng Poteh pukul 11.00 sembari sejenak beristirahat dan mengganti air kami karena air dari Cisentor kurang segar.

Pukul 11.15 kami melanjutkan perjalanan menuju Cisinyal, sebuah tempat dimana hampir semua sinyal handphone cukup kuat diterima. Perjalanan menuju Cisinyal sangat berat, dimana kami harus mendaki (dalam perjalanan turun) beberapa punggungan bukit yang cukup curam dan menghindari pohon Djancuk yang tersebar dimana-mana. Formasi kali itu pun turut berubah, Andre yang selama ini menjadi leader berada di belakang dan Dedi sebagai leader.

Kami tiba di Cisinyal pada pukul 12.15. Pada saat kami tiba di Cisinyal, kami melihat sebuah pemandangan menyedihkan, dimana sebuah bukit (diluar jalur pendakian) di sisi kiri pandangan lurus dari Cisinyal mengalami kebakaran hutan. Langsung saja aku menghubungi pak Susiono untuk mengabarkan kebakaran tersebut, namun sayang pak Susiono saat itu juga sedang dalam pendakian gunung Argopuro untuk pemantauan.

Kami kembali melanjutkan perjalanan pada pukul 12.30 di tengah terik matahari. Jalur yang kami lalui berikutnya sangat bertolak belakang dengan jalur sebelumnya, jalur ini menurun sangat curam, cukup untuk menggetarkan lutut kami. Perjalanan terasa sangat panjang dan membuat kami frustasi. Kepenatan tersebut hilang saat kami memasuki kawasan hutan lebat berlumut tebal yang ada di sekitar Taman Hidup. Hutan tersebut sangat indah dan sejuk, jalurnya pun landai. Sayangnya kami tidak sempat mengabadikannya dalam foto.



Pukul 16.00. Kami tiba di Taman Hidup. Sebuah Danau yang cukup besar di tengah pegunungan Yang Timur. Dengan hutan lebat yang mengelilinginya menjadikan danau ini sangat indah dan sejuk. Setelah kami mengambil air cadangan untuk melanjutkan perjalanan turun dan berfoto-foto, akhirnya Andre setuju dengan keputusan kami untuk melanjutkan perjalanan. Mungkin dikarenakan kencangnya angin yang bertiup dan tidak ada satu orang pun di Taman Hidup.

Air di danau ini terlihat cukup keruh, tapi itu tak berarti air danau ini kotor. Seperti kata-kata yang keluar dari mulut pak Susiono "Alam itu tidak kotor, hanya manusia yang mengotorinya, toh kotornya alam kotor yang organik dan tidak berbahaya". Airnya pun sangat dingin meskipun ketinggian danau ini tidak setinggi sungai di Cisentor. Meskipun Saat itu matahari masih menyinari sebagian sisi danau, dingin terasa menusuk hingga tulang jari tangan saat aku mengambil air.

Pukul 16.45 sore itu kami bergegas melanjutkan perjalanan kami karena waktu yang terus berputar dan angin di Taman Hidup sore itu yang cukup membuat bulu kuduk kami berdiri. Jalur yang kami lalui berikutnya tetap berupa hutan lebat, namun kali ini dengan tingkat ke-curam-an yang tinggi, membuat lutut kami semakin bergetar.

Hari pun mulai gelap, senter dan Headlamp pun disiapkan. Formasi berjalan kami pun kembali berubah. Andre tak lagi berada di posisi belakang karena dia terlihat mulai melemah. Perjalanan itu cukup melelahkan bagi kami dan membuat mental kami cukup jatuh, selain karena kondisi fisik yang sudah sangat lelah, kami dibingungkan oleh percabangan jalan yang sangat banyak. Sebuah pilihan yang berat untuk bertahan di Taman Hidup atau melanjutkan perjalanan dalam kondisi fisik yang lemah di malam hari. Mungkin dapat dikatakan sebagai sebuah kesalahan yang harus kami lakukan pada saat itu.

Karena keterbatasan info yang kami miliki tentang jalur yang harus kami ambil setelah Taman Hidup, kami memutuskan untuk bermalam dimanapun kami sampai jika tidak menemui tanda perkampungan pada pukul 21.00. Namun setelah melalui perjalanan malam yang cukup melelahkan, kurang lebih pukul 19.30 kami mulai memasuki hutan produksi karet dan melihat lampu perkampungan. Saat itu harapan mulai muncul dan menghapus keraguan kami.

Kami terus berjalan menembus malam dalam kelelahan yang berat. Andre mulai terlihat melemah. Dia sempat terjatuh seperti orang pingsan, kontan kami menolongnya dan akhirnya carrier yang dia gunakan kami lepas dan kami bawa secara bergantian supaya Andre dapat berjalan dengan baik. Tatapannya kosong, mukanya pun sangat pucat, sebuah keheranan yang sangat besar bagi kami. Andre yang pada saat pendakian sebagai leader dan berjalan begitu gagah dan cepat seperti anggota marinir yang kerap melatih fisik mereka di gunung ini, berubah menjadi Andre yang seperti seorang pendaki pemula yang mengalami frustasi pada pendakian pertama.

Setelah 1 jam berputar-putar di ladang penduduk dan kebingungan arah, kami mengambil keputusan untuk "nyasak" jalur di ladang. Aku dan Qomar yang masih cukup memiliki tenaga mencari jalur terdekat menuju perkampungan. Alhasil kami menemukan jalan pintas yang tidak lazim. Kami tiba di perkampungan kurang lebih pada pukul 20.30 tepat di belakan rumah warga.

Kami sangat bahagia saat tiba di perkampungan. Dengan kondisi yang lemah kami berjalan mencari warung yang masih buka malam itu. tapi naasnya kami tiba terlalu larut hingga tak ada lagi warung makan yang buka.

Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan menuju Polsek Bremi, dalam perjalanan tersebut andre kembali hampir terjatuh dan karena dia kembali membawa carriernya sendiri, jalannya pun tak lagi bisa lurus. Akhirnya kami melepas carriernya lagi dan Qomar menopang jalannya sambil membawa carrier Andre dan aku memanggul carrier Qomar yang cukup ringan, sedangkan Dedi kami tugaskan untuk mencari warung. Setibanya di Polsek, kami segera membeli mie dan telor serta minuman segar di toko depan Polsek karena memang tidak ada lagi satupun warung makan yang buka. Kami tiba di Polsek Bremi pukul 21.00. Kami memutuskan untuk bermalam di Polsek Bremi. Malam itu kami beristirahat cukup nyaman meskipun hanya beralas matras dan SB.

Kamis, 20 Agustus 2009
Kami menikmati sarapan pagi nasi daging dan teh hangat (Rp.6.000) di warung lesehan yang berjarak kurang lebih hanya 100 meter dari Polsek Bremi pada pukul 08.00 (Bremi - Pajarakan Rp. 9.000, Bremi Probolinggo Rp. 12.000). Di warung itu kebetulan ada bus jurusan Bremi Probolinggo yang sedang parkir menunggu penumpang, langsung saja kami menaiki bus tersebut pada pukul 08.30 setelah menikmati sarapan pagi. Aku, Qomar dan Dedi menuju Pajarakan yang merupakan pertigaan jalan raya Probolinggo - Banyuwangi ke Bremi karena kami akan singgah sejenak di rumah Dedi, dan Andre menuju Probolinggo karena harus mengejar kereta ke Bandung. Kami tiba di Pajarakan pada pukul 09.30, disitulah kami berpisah dengan Andre.

Kami bertiga melanjutkan perjalanan ke rumah Dedi dan tiba di sana pada pukul 10.15 dengan menggunakan bus ke Paiton Gudang Garam (Rp. 4.000) dan angkot menuju rumahnya (Rp. 3.000). Setelah menyalin foto yang ada di kamera Dedi, beristirahat dan makan siang, aku dan Qomar melanjutkan perjalanan kembali ke Jogja pada pukul 14.00 dengan bus menuju Surabaya (Rp. 18.000) langsung karena kami mendapat bus jurusan Banyuwangi-Surabaya. Kami tiba di Terminal Purabaya Bungurasih Surabaya pukul 20.00 dan melanjutkan perjalanan ke Jogja dengan bus patas Eka (Rp. 62.000) pada pukul 22.00.

Kami tiba di Terminal Giwangan Jogja pukul 05.00. Dari situ kami berpisah karena tujuan kami berbeda. Qomar menggunakan bus jalur 15 dan aku menggunakan bus Trans Jogja (yang baru pertama kali ini aku naiki) menuju perempatan Kentungan (Rp.3.000). Aku tiba di kost pada pukul 07.00 pagi.

...KEINDAHAN ARGOPURO DAN PERJUANGAN PANJANGNYA TAK AKAN HILANG DARI INGATAN...

...JANGAN PERNAH BERUSAHA UNTUK MENAKLUKKANNYA, RESAPILAH KEINDAHANNYA DALAM JIWA...


Thanks to :

* Tuhan YME
* All OANCeh
* Rombongan Surabaya (Yang setia menemani perjalanan kami)
* Pak Susiono (Atas semua info dan ijin yang diberikan)
* dan teman-teman semua yang mendukung kami.



blog comments powered by Disqus

ShareThis

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP